Sabtu, 01 Januari 2011

Imam Dari Pulau

Alkisah. Tiga orang pemuda hidup di sebuah desa kecil. Mereka bertiga adalah pemuda yang rajin dan dikenal baik di kalangan masyarakat. Ketiganya juga rajin salat berjamaah di masjid.

Suatu ketika seusai salat magrib di masjid, seorang imam yang sudah sangat tua memanggil ketiga pemuda. Kemudian ketiga pemuda tersebut memenuhi panggilan imam tersebut. Tampaknya sang imam ingin menyampaikan sesuatu. Para pemuda tesebut mencium tangan sang imam tersebut sebagai tanda hormat, kemudian mereka duduk di depan sang imam dengan penuh rasa rendah diri.

Sang imam yang duduknya agak sudah sedikit membungkuk, jenggot dan rambut yang sudah memutih, kulit yang sudah berkerut, dengan nada bicara yang bergetar, menyampaikan sesuatu kepada ketiga pemuda yang sangat hormat kepada orang tua.

“Wahai anak-anakku, lihatlah saya ini, lihatlah keadaan kampung kita ini. Dan coba lihat bagaimana pemuda-pemuda di kampung kita yang sebaya dengan kalian,” kata sang imam dengan nada bicara bergetar, tampak ia tidak lama lagi di dunia ini. Terdengar pekikan batuk tiga kali dari sang imam, kemudian dia melanjutkan lagi pembicaraannya kepada ketika pemuda tersebut.

“Saya ini sudah sangat tua, saya hanya satu-satunya imam di kampung ini. Umur saya tidak lama lagi wahai anak-anakku. Saya takut anak-anakku, saya takut jikalau tuhan telah mengambil nyawaku, siapa lagi yang yang menggantikan aku? Siapa lagi yang jadi imam? Siapa lagi yang menyalati jenazah? Siapa anak-anakku?” Tanya sang imam dengan suara keras hingga air mata berderai di pipinya. Ketiga anak muda tersebut juga ikut meneteskan air mata mereka. Mereka saling bertatapan muka ketika mendengar nasehat dari sang imam tersebut.

“Anak-anakku, tahukah kalian mengapa aku mengungkapkan isi hatiku kepada kalian?” Tanya sang imam lagi. Para pemuda saling bertatapan dan menggelengkan kepala tanpa menjawab dengan kata-kata tanda tidak tahu jawaban dari pertanyaan sang imam.

“Saya sengaja memanggil kalian, karena hanya pada kalian yang hanya bisa saya titipkan harapan saya. Karena saya melihat hanya kalian bertigalah yang terbaik dari pemuda-pemuda yang lain di kampung ini. Kalian rajin salat berjamaah, kalian ta`zim kepada orang tua, kalian berakhlak mulia. Maka saya menaruh harapan kepada kalian agar kalian mejadi pengganti saya di kelak hari jika saya tiada lagi,” pinta sang imam dengan penuh harapan.

Lalu ketiga pemuda tersebut saling bertatapan muka. Kemudian seorang dari mereka mengatakan kepada sang imam, ”Pak imam, kami mau menuruti apa kata pak imam. Memang kami juga mengawatirkan keadaan Pak Imam. Tapi kami ini orang-orang yang tidak ada ilmu, bagaimana kami bisa menggantikan Pak Imam?” Keluh seorang dari ketiga pemuda tersebut.

“Tenang saja wahai pemuda. Di pulau seberang ada seorang ulama shalih yang terkenal sangat wara`, kalian harus belajar padanya. Insya Allah setelah kalian belajar di sana, kalian akan bisa menggantikanku jika aku telah tiada nanti,” kata sang imam dengan gembira karena sudah ada calon penggantinya.

Kemudian ketiga pemuda tersebut bermusyawarah. Keesokan harinya mereka langsung berangkat ke pulau seberang untuk belajar pada seorang ulama shalih yang ditunjukkan sang imam. Sesampai di pulau seberang mereka bertemu dengan ulama shalih. Ulama salih tersebut menerima ketiga pemuda sebagai muridnya.

Namun, ulama shalih tidak mengajarkan mereka. Sampai berbulan-bulan ketiga pemuda hanya disuruh bekerja. Ketiga pemuda bertanya-tanya mengapa mereka disuruh bekerja, padahal tujuan mereka menuntut ilmu. Lalu seorang dari ketiga pemuda memutuskan untuk pulang kampung saja, karena ia merasa dipermainkan oleh ulama shalih. Tinggallah dua pemuda lagi. Mereka berdua tetap bertahan dan bersabar. Mungkin mereka hanya disuruh bekerja dulu, baru diajarkan ilmu-ilmunya kepada mereka.

Setahun sudah kedua pemuda bekerja di tempat orang shalih. Namun keduanya masih disuruh bekerja saja. Lalu seorang diantara keduanya hilang kesabaran dan memutuskan untuk pulang kampung juga. Akhirnya tinggallah seorang lagi.

Ternyata, ulama shalih tersebut menguji kesabaran ketiga pemuda tersebut. Karena ia menginginkan muridnya adalah orang yang sabar dan tabah. Seorang pemuda lagi yang masih bertahan di tempat ulama shalih akhirnya dijadikan sebagai muridnya dan diajarkan segala ilmu yang ada padanya. Hingga akhirnya pemuda yang satu ini menjadi ulama besar dan menjadi pengganti sang imam di kampungnya. Sementara kedua pemuda yang menyerah tadi tidak mendapat apapun dan tidak menjadi apapun.
Ternyata ilmu itu didapat dari kesabaran dan usaha keras. Pepatah arab mengungkapkan man shabara zhafira, siapa bersabar beruntunglah ia.

Telah dimuat di Rubrik Cang Panah, Harian Aceh 31 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar